24 November 2011

Menjadi Diri Sendiri

Menjadi Diri Sendiri, adalah kalimat yg paling sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Kebanyakan terucap dari mulut para remaja atau dulunya kita, yg sedang mencari jati diri belajar membentuk karakter seorang manusia sejati. Ibaratkan suatu peran dalam dunia sandiwara yaitu jahat (antagonis), baik(pratagonis), pelengkap(figuran). Lalu di dunia nyata Peran seperti apakah sebenarnya yg sedang kita mainkan?
Peran kita masing-masing tentunya Menjadi Diri Sendiri. Menjadi diri sendiri itu
apakah dgn cara kita menjadi manusia yg sesuka hatinya melampiaskan keinginan pribadi tanpa memikirkan perasaan orang lain? kemudian berkata dgn lantangnya; "ini lah aku yg apa adanya"
Jika iya, tentunya sudah bisa dipastikan kita hanya akan mengikuti hawa nafsu, egois, kemudian menjadi manusia yg sesuka hati atau dalam bahasa jawanya "sak uenak e udelle dewe".
Mengenyam bangku pendidikan bertahun-tahun bahkan hampir separuh umur hidup, Yg tiap harinya di ajarkan tentang moral, perhitungan, teknologi, religi.
Namun dalam sekejap kemudian, menjadi diri sendiri versi "sak uenake udelle dewe" menghapus tuntas perjuangan itu semua dalam waktu yg singkat. Maka Kembalilah kita ke zaman purbakala, dimana dulunya peradaban masih sangat terbelakang baik segi jasmani maupun rohani.
Jadi buat apa kita disekolahkan?
Bukankah pendidikan itu untuk menjadikan kita manusia yg berkualitas?
Ironis, Mungkin itu lah yg akan terjadi jika salah persepsi dalam memaknai kalimat "menjadi diri sendiri" itu sendiri.

Menjadi diri sendiri adalah kita tetap berada dalam keunikan kita tanpa harus mengikuti siapapun, namun bukan berarti harus sesuka hati terhadap apapun.
Setiap masing-masing manusia tercipta dgn anugerah kelebihan tersendiri, kekurangan yg dimiliki orang lain kadang itu menjadi kelebihan bagi kita dan begitu pula sebaliknya. Kadang kita mungkin hanya belum menyadari sebesar apa potensi yg ada, dan belum memaksimalkannya secara penuh.
Setiap manusia itu unik, diberikan kelebihan dan kekurangan untuk saling melengkapi antara satu dgn yg lainnya. Untuk saling tolong menolong, menghormati dan menghargai. Yg itu artinya kita adalah mahluk sosial, selalu bergantung terhadap sesamanya.
Ibaratkan sebuah tali yg mengikatkan kapal pada dermaga. saling sambung-menyambung. peranan yg ada pada masing-masing kaitan satu dgn Lainnya membentuk satu ikatan utuh yg kuat. Menjadikan kapal itu tetap stabil bertahan ditempatnya.
jadi kita memang diharuskan menjadi seperti sebuah tali itu. diri sendiri berperan atas dirinya, Bukan diri orang lain. agar hidup ini tetap berjalan stabil sebagaimana mestinya, melahirkankan sebuah aktifitas yaitu kehidupan.

Namun untuk itu semua, adakalanya hambatan dan rintangan akan selalu ada. membangun jati diri tak semudah kita mengucapkan. Seperti menasehati yg selalu lebih mudah utk diutarakan daripada dilakukan.
Di tolak, di sia-siakan, gagal, minder adalah perasaan yg sering kita alami. Yg selanjutnya akan menimbulkan pertanyaan seperti;
Kenapa jadi begini?
Kenapa aku tidak bisa melaluinya?

Dan berbagai kalimat penyesalan seperti;
Seandainya bukan jalan ini yg dulu ku tempuh...
Seandainya aku tidak melakukan itu...

Maka dari sinilah awal mulanya kita merasa bahwa diri ini kecil dan remeh. mulailah kita menghakimi diri sendiri dan secara perlahan kita pun  menjadi tipe orang yg membenci diri sendiri. mulai membanding2kankan apa saja yg belum kita dapatkan dgn apa saja yg telah orang lain hasilkan. Melihat keberhasilan orang dan kita yg merasa gagal mendapatkannya membuat diri sendiri menjadi semakin terpuruk. Kemudian timbul rasa iri, dengki, ketidakpuasan, egois dan segala macam penyakit hati lainnya yg membuat down mental, yg dalam sekejap menimbulkan depresi tingkat tinggi dikarenakan pikiran-pikiran negatifnya itu sendiri.
Hidup akan menderita jika saja kita selalu menganggap rendah dan kecil diri kita. perasaan kecewalah yg menghilangkan rasa percaya diri yg akhirnya membuat kita beralih menjadi orang lain. Maka bisa dipastikan hari-hari selanjutnya yg dijalani akan menjadi hari-hari yg penuh beban dan perasaan munafik. Akhirnya... kita pun sukses, sukses menciptakan neraka di dalam hidup kita sendiri. Kita menjadi amnesia, lupa tentang arti sesungguhnya hidup ini. Lupa tentang peranan yg seharusnya tetap dimainkan. bahkan lupa tentang garisan takdir yg telah ditetapkan oleh sang Pencipta. Atau bahkan setelah sejauh ini kita masih sama sekali belum mengerti tentang untuk apa sebenarnya kita hidup didunia.

Menjadi diri sendiri, akan lebih mudah diwujudkan apabila kita bisa mensyukuri apa yg ada dan mengikhlaskan apa yg belum ada. Jadilah diri sendiri, ungkapan ini bukan berarti seenak-enaknya saja dalam mengekspresikan diri, Masing-masing tentu ada batasannya. Saatnya kita introspeksi, Saatnya membenahi diri, membuat komitmen teguh membangun rasa percaya diri dan memaksimalkan potensi yg ada demi hidup yg kita rasakan indah nantinya.

Enjoy... be your self!

1 komentar:

herizal alwi 5:26 PM, Februari 16, 2012  

sebuah kisah semoga mengispirasimu…

Di siang bolong seorang Darwis masuk-keluar pasar dengan membawa sebuah lilin ditanganya. Ada yang menegur dia, Apa yang sedang engkau cari? Untuk apa pula menyalakan lilin? Tidak cukuplah cahaya matahari?”

Darwis menjawab,”aku sedang mencari seseorang manusia”

Seorang manusia? Pasar ini penuh dengan manusia dimana-mana, siapakah yang kau maksudkan?”

“seorang manusia sejati. Ia yang mampu pertahankan kemanusiaanya dalam dua keadaan.”

Keadaan apa?”

“pertama, dalam keadaan marah, Yang “kedua dalam keadaaan lapar. Bila ada yang mampu mempertahankan kemanusiaanya dalam keadaam itu, maka dialah seorang manusia sejati.”

“engkau sedang mencari sesuatu yang sangat langka, katakana apa yang kan kau lakukan jika bertemu dengan seorang manusia sejati seperti itu?

“aku akan mengabdi kepadanya, seumur hidup, untuk selama-lamanya.”

“sungguh engkau sedang mencari ranting. Kenapa tidak mencari akar? Engkau memperhatikan busa menutupi permukaan laut, kenapa tidak memperhatikan laut.

Cerita diatas adalah kiasan yang diberikan jalaludin rumi dalam karya fenomenalnya, masnawi, jika membaca cerita diatas, paling tidak ada dua makna tersirat yang bisa kita dapatkan.

Pertama, manusia sejati adalah manusia yang dapat mengendalikan diri saat marah dan lapar. Bagi rumi, saat mengalami dua hal itulah, manusia terkadang kehilangan kesadaranya. Ketika dilanda marah, biasanya manusia kan membabi buta baik perkataanya maupun perbuatanya. Kata-kata orang marah biasnya ngelantur kesana-kemari, caci maki, hinaan, ejekan, sumpah serapah, merendahkan orang, dan yang sejenisnya yang keluar tanpa control.

Kedua, kita harus menjadi pelaku atas manusia sejati, kita tidak perlu mencari manusia sejati, tetapi kita jadikan diri kita sebagai manusia sejati, rumi mengatakan di akhir ceritanya,”sungguh engkau sedang mencari ranting. Kenapa tidak mencari akar? Engkau memperhatikan busa yang menutupi permukaan laut, kenapa tidak memperhatikan laut?”

Posting Komentar

posting populer

Arsip Blog

  © Blogger template 'Ultimatum' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP